Si Kecil Kok Belum Bicara?
Deteksi dini keterlambatan bicara sangat penting agar intervensi dan stimulasi untuk mengejar ketinggalan dapat segera dilakukan. Orang tua sebaiknya bersabar untuk memperkenalkan dua bahasa itu pada anaknya.Sion (29 tahun) khawatir. Joshua (2 tahun, 4 bulan) anaknya, belum juga dapat berbicara sepatah kata pun. Joshua hanya bisa menunjuk-nunjuk dan mengeluarkan suara “ uh..uh…,” ketika menginginkan sesuatu. Sementara teman-temannya yang lain sudah bisa mengucapkan kalimat pendek seperti ”aku mau makan,” atau, ”aku mau pipis.”
Sempat timbul keinginan Sion untuk membawa Joshua kepada profesional. Sekedar untuk mengkonsultasikan keadaan anaknya. Namun, orang-orang di sekitarnya seperti tidak mendukung, ”tenang saja, nanti juga bisa. Kamu terlalu khawatir aja…” akhirnya ibu yang tinggal di wilayah Jakarta Timur ini pun menurut. Dia tak memeriksakan anaknya untuk mencari tahu keterlambatan bicara anak pertamanya itu.
Menurut dr. I Gusti Ayu Partiwi Surjadi SpA. MARS, memang ada kasus keterlambatan bicara yang bersifat genetik, yang memang boleh ditunggu. ”Tetapi kita mesti benar-benar yakin bahwa keterlambatan itu benar-benar genetik dan boleh ditunggu, ”Kata dokter Tiwi. Untuk mengetahui apakah kemampuan bicara bayi akan berkembang normal, antara lain dapat dideteksi melalui pendengarannya. “Yakinkan bahwa pendengaran bayi normal karena pendengaran yang baik merupakan salah satu persyaratan untuk bicara,” Tiwi menambahkan. Fungsi pendengaran dapat dinilai dengan melakukan screening pendengaran bahkan sejak bayi baru lahir. Respon bayi terhadap lonceng atau suara merupakan petanda pendengaran bahwa fungsi pendengran bayi baik.
Masalah terlambat bicara menurut Tiwi memang sering kali terlambat terdiagnosis. ”Padahal deteksi dini gangguan perkembangan secara keseluruhan, termasuk terlambat bicara, sangat penting diketahui sedini mungkin,” kata dokter dari RS Bunda Jakarta ini. Sehingga bila terjadi gangguan dapat segera dikoreksi, karena otak berkembang sangat cepat di tahun pertama dan kedua.
“Bila gangguan perkembangan diketahui di tahun pertama, intervensi atau stimulasi yang dilakukan pada bayi atau anak akan sangat bermanfaat, karena otak masih sangat sensitif dengan stimulasi yang diberikan,” katanya menjelaskan. Rangsangan atau stimulasi perbaikan yang diberikan diharapkan dapat mengejar segala bentuk keterlambatan di tahun pertama atau kedua. ”Tentu saja semua tergantung jenis keterlambatannya atau berat ringannya gangguan perkembangan,” katanya menambahkan.
Seni Septiana Sinaga, Psi mengatakan jika keterlambatan bicara tidak dideteksi sejak dini, maka kerusakan yang ditimbulkan bisa jauh lebih besar. ”Ekspektasi terhadap anak 2 tahun tentu berbeda dengan anak 3 tahun. Apalagi kalau sudah mau masuk TK atau SD,” kata psikolog perkembangan anak dari Klinik Kancil ini.
Psikolog Jacinta F Rini memaparkan bahwa bicara adalah media utama dalam mengekspresikan diri, untuk bisa dimengerti orang lain, orang tua, guru dan teman-temannya. Bila media itu mengalami masalah, maka bisa membuat anak menjadi frustasi. ”Mungkin pula ia akan merasa frustasi dan malu karena teman-temannya memperlakukan dia secara berbeda, entah mengucilkan atau pun membuatnya menjadi bahan tertawaan,” ungkap Jacinta dalam artikelnya “Keterlambatan Bicara” yang dipublikasikan di situs e-psikologi.
Jika tidak ada yang bisa mengerti apa yang diinginkan atau dimaksud anak, maka tak mengherankan jika lama kelamaan anak itu akan berhenti untuk berusaha membuat orang lain mengerti. ”Padahal, belajar melalui proses penting dalam menjadikan seorang manusia bertumbuh dan berhasil menjadi orang seperti yang diharapkannya,” Jacinta menegaskan.
Penyebab Keterlambatan Bicara
Seperti dipaparkan oleh Jacinta, gangguan keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak, tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan lainnya. ”Pada umumnya mereka mempunyi perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang normal. Menurut penelitian masalah ini terjadi atau dialami 5 sampai 10 persen anak-anak usia prasekolah dan lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki daripada perempuan ,” urai Jacinta menambahkan.Penyebab terlambat bicara menurut Tiwi, ada yang bersifat sentral (gangguan pada otak), ada yang karena penyebab perifir (alat pendengaran yang terganggu), tetapi bisa juga karena bersifat genetik (masalah keturunan). ”Anak autis seringkali memberikan manifestasi awal terlambat bicara,” ujarnya. Orang tua sering membawa anak dengan gangguan perkembangan pervasive development disorder not other specified (PDD NOS) yang sering disebut sebagai autisme ke dokter atau ahli perkembangan karena anak belum bisa bicara. Sementara penyebab autisme sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Tiwi menambahkan, orang tua dengan dwi bahasa sebaiknya bersabar untuk memperkenalkan dua bahasa itu pada anaknya. Sebab beberapa kasus menunjukkan bahwa anak yang diperkenalkan bahasa bilingual sejak bayi kadang-kadang bisa menjadi terlambat bicara. ”Kalau belum yakin perkembangan interaksi atau komunikasinya normal atau tidak, sebaiknya memakai satu bahasa saja pada anak,” katanya menganjurkan.
Menurut Seni, banyak anak yang terlambat bicara, karena anak tidak mengalami proses perkembangan secara alami. Misalnya seharusnya anak ditetah, malah diberi baby walker, anak tidak pernah merasakan yang kasar atau lunak, karena selalu harus merasakan yang halus-halus dan bersih sehingga anak menjadi hipersensitif.
Anak usia 9 bulan seharusnya sudah mulai makan makanan yang agak kasar, tetapi karena orang tuanya khawatir anaknya kurus, anak diberi makanan halus terlalu lama. Hal ini akan menyebabkan daerah di sekitar mulut dan lidah yang digunakan juga untuk bicara menjadi kurang terlatih. Anak usia diatas 2 tahun seharusnya juga sudah berhenti minum ASI, sehingga mulutnya tidak hanya terbiasa dengan yang kenyal-kenyal saja. Ia harus sudah mencoba sedotan atau cangkir dan bukan diberi dot agar daerah di sekitar mulutnya dapat terangsang dengan baik.
Begitu juga jika ada tahapan perkembangan anak yang terlewati. Misalnya, anak belum merangkak, tetapi sudah ingin berdiri. ”Kalau ada tahapan yang terlongkapi, potensi masalah yang ditimbulkan bukan hanya keterlambatan bicara, tetapi bisa juga gangguan yang lain. Atau, bisa saja bahasanya tidak terlambat, tetapi mengalami keterlambatan atau bermasalah dalam mengendalikan atensinya,” kata Seni menerangkan.
Sejauh ini, papar Jacinta, kebanyakan nonton televisi pada anak-anak usia balita juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab anak mengalami gangguan keterlambatan bicara, Terlalu banyak menonton TV, menurutnya, merupakan faktor yang membuat anak menjadi pendengar pasif. ”Pada saat nonton televisi, anak akan lebih sebagai pihak yang menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang ditayangkan berisi adegan-adegan yang sering kali tidak dimengerti oleh anak, bahkan mungkin traumatis,” urainya panjang lebar.
Pengalaman traumatis bisa akibat menyaksikan adegan perkelahian, kekerasan, seksual atau pun acara yang tidak disangka-sangka memberi kesan yang mendalam pada anak, karena egosentrisme yang kuat pada anak dan kemampuan kognitif yang masih belum berkembang.
Akibatnya, anak tidak mengalami periode tertentu yang seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan dan orang tua, untuk kemudian memberikan feedback kembali. Karena yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan respon apa-apa dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara kan terhambat perkembangannya.
Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua menurut Jacinta, juga memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang sangat baik. ”Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dengan si anak ikut berperan dalam menambah pembendaharan kata, memacu untuk berpikir logis, menganalisis dan membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun,” jelasnya.
Sebaliknya jika orang tua sering malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja. Apalagi bila pembicaraan itu lebih banyak instruksi ketimbang dialog. ”Anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan ”memasukkan” segala intruksi, pandangan atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara serta menggunakan kalimat dan berbahasa,” katanya lagi.
Parameter Keterlambatan Bicara
Jika pada usia 6 bulan, bayi tidak melirik atau menoleh pada sumber suara yang datang dari belakang atau sampingnya, atau di usia 10 bulan bayi tidak merespon bila dipanggil namanya, Anda harus waspada. Begitu juga jika pada usia 15 bulan, anak tidak mengerti atau merespon terhadap kita “tidak” atau “jangan,“ atau tidak merespon terhadap perintah duduk, ke sini, atau berdiri di usianya yang ke 21 bulan.Perlu diwaspadai juga jika si kecil yang berusia 2 tahun tidak dapat menunjuk dan menyebutkan bagian tubuh seperti mulut, hidung, mata, atau kuping. Selain itu, di usia 2 tahun, menurut Seni anak seharusnya sudah bisa merangkai 3 kata seperti, ”aku mau minum,” atau ”aku mau pipis.” “Kalau dapat mengucapkan kata minum atau makan, tetapi tidak jelas berarti anak kurang perangsangan. Tetapi, kalau anak hanya bisa mengucapkan “uuh” atau ”aah,” jangan tunda lagi, sebaiknya anak itu segera dibawa ke ahli,” kata Sebi menjelaskan.
Evaluasi dan Pemeriksaan
Menurut Jacinta, jika orang tua mencurigai anaknya mengalami hambatan bicara, maka hal ini haruslah diteliti dan diperiksa oleh ahli yang memang berkompeten di bidangnya, sehingga terjadinya salah diagnosa dan penanganan dapat dihindar. Untuk itu, diperlukan pemeriksaan lengkap dari aspek-aspek fisiologis dan neurologis serta psikologis.Seperti dipaparkan Jacinta, pada tahapan pemeriksaan aspek fisiologis dan neurologis, dokter memeriksa secara menyeluruh, untuk mengetahui apakah keterlambatan tersebut disebabkan masalah pada alat pendengaran, sistem pendengarannya, atau pun pada areal otak yang mengatur mekanisme pendengaran, bicara dan otak yang memproduksi kemampuan berbicara. Pemeriksaan lengkap akan menghasilkan diagnosa yang jauh lebih pasti tidak hanya faktor penghambatnya, namun juga metode penanganannya yang paling sesuai untuk anak yang bersangkutan,” jelas Jacinta.
Pemeriksaan secara psikologis menurutnya juga diperlukan untuk memahami fungsi-fungsi lain yang berhubungan dengan kemampuan berbicara dan berbahasa, seperti tingkat intelegensi serta tingkat perkembangan sosial–emosional anak. ”Pemeriksaan secara psikologis ini juga dimaksudkan untuk melihat sejauh mana pengaruh dari hambatan yang dialami anak terhadap kemampuan emosional dan intelektualnya. Pemeriksaan ini juga harus berpengalaman dalam menangani anak dengan masalah keterlambatan bicara,” papar Jacinta.
Setelah hasil pemeriksaan keluar, maka orang tua dengan rekomendasi ahli dapat mengambil langkah tepat seperti misalnya, melakukan terapi bicara atau jika usia anak sudah harus sekolah, maka dimasukkan pada sekolah yang dapat memberikan perlakuan dan perhatian yang tepat sesuai dengan masalah anak tersebut.
Dr. I Gusti Ayu Partiwi Surjadi SpA. MARS, Direktur Rumah Sakit Bunda Jakarta memberikan panduan tahapan perkembangan kemampuan bicara dan bahasa anak berdasarkan usia seperti dijabarkannya sebagi berikut:
0 Komentar